Pernikahan Paksa Merupakan Bagian Dari TPKS
Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam pernikahan paksa
Seorang anak terpaksa menikah (pernikahan paksa) oleh orang tuanya karena alasan ekonomi keluarga atau dengan alasan budaya atau adat istiadat, maka orang tua tersebut dapat dikenakan sanksi pidana.
Yuk kita bahas satu persatu,
Di Indonesia, perbuatan atau Tindakan pernikahan paksa termasuk salah satu tindak pidana kekerasan seksual. Sebagaimana penjelasan dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dalam Pasal 10 Ayat 1 yang berbunyi :
“Setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta.”
Perbuatan-perbuatan yang termasuk pernikahan paksa
Dalam pasal asal ini ada penjelasan juga sejumlah perbuatan yang termasuk pernikahan paksa antara lain :
- Pernikahan anak;
- Pemaksaan pernikahan dengan mengatasnamakan praktik budaya;
- Pemaksaan pernikahan korban dengan pelaku perkosaan.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur tentang pemaksaan, akan tetapi tidak terbatas pada pemaksaan pernikahan saja.
Pasal 335 Ayat 1 KUHP menjelaskan bahwa
“Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 4.500: Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”
Sebagai catatan, ancaman pidana berupa denda pada Pasal 355 ayat (1) KUHP tersebut harus sesuai dengan Pasal 3 Perma 2/2012 yang dilipatgandakan 1.000 (seribu) kali menjadi denda paling banyak Rp4,5 juta.
TPKS Merupakan pelanggaran HAM
Dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 telah ada penjelasan bahwa Pernikahan sebagai hak asasi manusia. Menikah merupakan hak asasi manusia yang terjamin oleh negara melalui UUD 1945. Juga ada pengaturan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 10 UU HAM menyatakan,
- Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
- Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan ketentuan-ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa pernikahan atau perkawinan merupakan hak asasi setiap orang. Dan perkawinan yang sah tidak dapat berlangsung karena pemaksaan.
Menurut keterangan, Komnas Perempuan mencatat 6 (enam) bahaya perkawinan anak yang mengancam masa depan Indonesia khususnya perempuan, antara lain :
- Pendidikan:
anak perempuan yang kawin sebelum berusia 18 tahun, 4 kali lebih rentan dalam menyelesaikan pendidikan menengah/setara; - Ekonomi:
Kerugian ekonomi akibat perkawinan anak ditaksir setidaknya 1,7% dari pendapatan kotor negara (PDB). Sebab kesempatan anak untuk berpartisipasi dalam bidang sosial dan ekonomi terhambat; - Kekerasan dan Perceraian:
Perempuan menikah pada usia anak lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perceraian; - Angka Kematian Ibu (AKI):
Komplikasi saat kehamilan dan melahirkan menjadi penyebab kematian kedua terbesar untuk anak perempuan berusia 15 – 19 tahun. Ibu muda yang melahirkan juga rentan mengalami kerusakan pada organ reproduksi; - Angka Kematian Bayi (AKB):
Bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun berpeluang meninggal sebelum usia 28 hari/1,5 kali lebih besar. Bila membandingkan ibu berusia 20 – 30 tahun; - Stunting:
1 dari 3 balita mengalami stunting. Perkawinan dan kelahiran pada usia anak meningkatkan risiko terjadinya stunting. (Survei Nasional Sosial dan Ekonomi, United Nations Children’s Fund, dan Kidman, 2016).
Dampak tersebut melanggar pemenuhan dan penikmatan hak-hak anak perempuan, baik yang ada jaminan dalam Konstitusi, Undang-Undang dan Konvensi Internasional. Konstitusi UUD 1945, Pasal 28B ayat 2, jelas menyebutkan. Bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Rekomendasi Umum CEDAW No. 31 dan Konvensi Hak Anak No. 18. Menyebutkan perkawinan anak sebagai pemaksaan perkawinan mengingat anak belum mampu memberikan persetujuan secara bebas. Oleh karena itu, perkawinan anak merupakan bentuk harmful practice. “
Pernikahan harus berdasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, tanpa ada paksaan dari pihak manapun
Selanjutnya, pernikahan terpaksa yang dilakukan karena ancaman. Ini juga merupakan perbuatan melanggar ketentuan hukum. Dalam pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan sudah di jelaskan secara konkrit bahwa Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai,tanpa ada paksaan dari pihak manapun karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia. Yang artinya memang pada dasarnya seseorang tidak boleh terpaksa menikah dengan ancaman atau dengan hal apapun. Perkawinan harus didasarkan pada keinginan dan persetujuan dari masing-masing pihak.
Menikah karena terpaksa yang dilangsungkan di bawah ancaman adalah melanggar hukum, maka berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU Perkawinan, suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.di samping itu bagi yang beragama Islam, pembatalan perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum dapat dimohonkan juga oleh suami atau istri berdasarkan Pasal 72 ayat (1) KHI.
Keterangan lebih lanjut tentang pembatalan perkawinan bisa dibaca di yanthie.com/edukasi-hukum-pembatalan-pernikahan/
Pernikahan Paksa
Yanthie Maryanti – KMTH Desain Website oleh Cahaya Hanjuang