Yanthie Maryanti
Pernikahan Paksa
Pernikahan Paksa

Pernikahan Paksa Merupakan Bagian Dari TPKS

Pernikahan paksa
http://Yanthie Maryanti – KMTH

Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam pernikahan paksa

Seorang anak terpaksa menikah (pernikahan paksa) oleh orang tuanya karena alasan ekonomi keluarga atau dengan alasan budaya atau adat istiadat, maka orang tua tersebut dapat dikenakan sanksi pidana.

Yuk kita bahas satu persatu,
Di Indonesia, perbuatan atau Tindakan  pernikahan paksa termasuk salah satu tindak pidana kekerasan seksual. Sebagaimana penjelasan dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dalam Pasal 10 Ayat 1 yang berbunyi :

“Setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta.”

Perbuatan-perbuatan yang termasuk pernikahan paksa

Dalam pasal asal ini ada penjelasan juga sejumlah perbuatan yang termasuk pernikahan paksa antara lain :

  1. Pernikahan anak;
  2. Pemaksaan pernikahan dengan mengatasnamakan praktik budaya;
  3. Pemaksaan pernikahan korban dengan pelaku perkosaan.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur tentang pemaksaan, akan tetapi tidak terbatas pada pemaksaan pernikahan saja.

Pasal 335 Ayat 1 KUHP menjelaskan bahwa

“Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 4.500: Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”

Sebagai catatan, ancaman pidana berupa denda pada Pasal 355 ayat (1) KUHP tersebut harus sesuai dengan Pasal 3 Perma 2/2012 yang dilipatgandakan 1.000 (seribu) kali menjadi denda paling banyak Rp4,5 juta.

TPKS Merupakan pelanggaran HAM

Dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 telah ada penjelasan bahwa Pernikahan sebagai hak asasi manusia. Menikah merupakan hak asasi manusia yang terjamin oleh negara melalui UUD 1945. Juga ada pengaturan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 10 UU HAM menyatakan,

  1. Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
  2. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan ketentuan-ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa pernikahan atau perkawinan merupakan hak asasi setiap orang. Dan perkawinan yang sah tidak dapat berlangsung karena pemaksaan.  

Menurut keterangan, Komnas Perempuan mencatat  6 (enam) bahaya perkawinan anak yang mengancam masa depan   Indonesia khususnya perempuan, antara lain :

  1. Pendidikan:  
    anak perempuan yang kawin sebelum berusia 18  tahun, 4  kali lebih rentan dalam  menyelesaikan pendidikan menengah/setara;
  2. Ekonomi:  
    Kerugian ekonomi akibat perkawinan anak ditaksir  setidaknya 1,7% dari pendapatan kotor negara (PDB). Sebab  kesempatan anak untuk berpartisipasi dalam bidang sosial dan ekonomi terhambat;
  3. Kekerasan dan Perceraian:  
    Perempuan menikah pada usia anak lebih rentan mengalami kekerasan  dalam rumah tangga (KDRT) dan perceraian;
  4. Angka Kematian Ibu (AKI):  
    Komplikasi saat kehamilan dan melahirkan menjadi  penyebab kematian kedua terbesar untuk anak perempuan berusia  15 – 19 tahun. Ibu muda yang melahirkan juga rentan mengalami kerusakan pada organ reproduksi;
  5. Angka Kematian Bayi (AKB):  
    Bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun berpeluang meninggal sebelum usia 28 hari/1,5 kali lebih besar. Bila membandingkan ibu berusia 20 – 30 tahun; 
  6. Stunting:  
    1 dari 3 balita mengalami stunting. Perkawinan dan kelahiran pada usia anak meningkatkan risiko terjadinya stunting. (Survei Nasional Sosial dan Ekonomi, United Nations Children’s Fund, dan Kidman, 2016).

Dampak tersebut melanggar pemenuhan dan penikmatan hak-hak anak perempuan, baik yang ada jaminan dalam Konstitusi, Undang-Undang dan Konvensi Internasional. Konstitusi UUD 1945, Pasal 28B ayat 2, jelas menyebutkan. Bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 

Rekomendasi Umum CEDAW No. 31 dan Konvensi  Hak Anak No. 18. Menyebutkan perkawinan anak sebagai pemaksaan perkawinan mengingat anak belum mampu memberikan persetujuan secara bebas. Oleh karena itu, perkawinan anak  merupakan bentuk harmful practice. “

Pernikahan harus berdasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, tanpa ada paksaan dari pihak manapun 

Selanjutnya, pernikahan terpaksa yang dilakukan karena ancaman. Ini juga merupakan perbuatan melanggar ketentuan hukum. Dalam pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan sudah di jelaskan secara konkrit bahwa Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai,tanpa ada paksaan dari pihak manapun karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia. Yang artinya memang pada dasarnya seseorang tidak boleh terpaksa menikah dengan ancaman atau dengan hal apapun. Perkawinan harus didasarkan pada keinginan dan persetujuan dari masing-masing pihak.

Menikah karena terpaksa yang dilangsungkan di bawah ancaman adalah melanggar hukum, maka berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU Perkawinan, suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.di samping itu bagi yang beragama Islam, pembatalan perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum dapat dimohonkan juga oleh suami atau istri berdasarkan Pasal 72 ayat (1) KHI.

Keterangan lebih lanjut tentang pembatalan perkawinan bisa dibaca di yanthie.com/edukasi-hukum-pembatalan-pernikahan/

Pernikahan Paksa

Yanthie Maryanti – KMTH Desain Website oleh Cahaya Hanjuang

Pembatalan Pernikahan Dalam UU
Pembatalan Pernikahan Dalam UU

Pembatalan Pernikahan dalam UU

Sudah kawin resmi tapi dibatalkan perkawinannya

Menikah karena terpaksa dengan sebuah alasan atau kisah perkawinan karena dijodohkan sering kali dijadikan isi cerita dalam sebuah film maupun sinetron. Pada kenyataantya, cerita menikah karena terpaksa memang masih sering  terjadi di tengah masyarakat, Entah atas keinginan atau paksaan orang tua hingga karena ancaman yang artinya merampas Hak asasi manusia dan juga melanggar ketentuan hukum seperti yang di jelaskan dalam pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan sudah di jelaskan secara konkrit bahwa Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai,tanpa ada paksaan dari pihak manapun karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia. Yang artinya memang pada dasarnya seseorang tidak boleh terpaksa menikah dengan ancaman atau dengan hal apapun. Perkawinan harus didasarkan pada keinginan dan persetujuan dari masing-masing pihak.

Menikah karena terpaksa yang dilangsungkan di bawah ancaman adalah melanggar hukum, maka berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU Perkawinan, suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.

Selanjutnya, bagi yang beragama Islam, pembatalan perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum dapat dimohonkan juga oleh suami atau istri berdasarkan Pasal 72 ayat (1) Lampiran KHI.

Pengertian Pembatalan Pernikahan

Pembatalan perkawinan adalah suatu tindakan pembatalan suatu perkawinan yang tidak mempunyai akibat hukum yang dikehendaki karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum atau peraturan perundang-undangan (menurut keterangan Andi Hamzah dalam Kamus Hukum )

Meskipun dalam UU Perkawinan termasuk Peraturan Pelaksananya (PP 9/1975) tidak secara jelas mendefinisikan pengertian pembatalan perkawinan. Akan tetapi Pasal 22 UU Perkawinan dan penjelasannya menerangkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam hal ini , pengertian “dapat” dalam pasal tersebut mengacu pada ketentuan agama masing-masing.

Selain itu Pasal 37 PP 9/1975 menerangkan bahwa pembatalan perkawinan atau batalnya perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan. Dilanjutkan dalam bagian penjelas, ketentuan pasal tersebut dibuat mengingat bahwa pembatalan suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik bagi pasangan dan keluarga

Alasan-Alasan dan Pihak-pihak yang dapat mengajukan Pembatalan Perkawinan

Berdasarkan Pasal 26 dan 27 UU Perkawinan, alasan untuk melakukan pembatalan pembatalan perkawinan adalah sebagai berikut.

  1. Perkawinan dilangsungkan di hadapan pegawai pencatatan yang tidak berwenang.
  2. Perkawinan dilangsungkan di hadapan wali nikah yang tidak sah.
  3. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi.
  4. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
  5. Terjadi salah sangka kepada diri suami atau istri selama pernikahan berlangsung

Pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan pernikahan

Berdasar pada Pasal 23 UU Perkawinan pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, , yaitu:

  1. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
  2. suami atau istri;
  3. pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
  4. pejabat yang ditunjuk dalam Pasal 16 ayat (2) UU Perkawinan dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Batas Waktu Pengajuan Pembatalan Pernikahan karena Ancaman

Dalam pengajuan pembatalan perkawinan , terdapat batasan waktu untuk mengajukan permohonan pembatalan karena ancaman yang melanggar hukum. Dengan demikian, apabila ancaman telah berhenti dan dalam jangka waktu 6 bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Yang artinya pernikahan akan tetap berlanjut dengan alasan ancaman tidak terealisasi dan pasangan tersebut tidak lagi mempermasalahkan perkawinan mereka walaupun awalnya terpaksa.

Persamaan dan Perbedaan Pembatalan Pernikahan dengan Perceraian

Persamaan pembatalan nikah dengan perceraian adalah prosesnya yang hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan (rangkuman dari artikel Tentang Pembatalan Nikah dan Perceraian)

Sedangkan, perbedaan pembatalan perkawinan dan perceraian adalah siapa yang berhak mengajukan permohonan dan pembagian harta gono-gini.

Dalam perceraian, permohonan hanya dapat dilakukan oleh suami atau istri. Namun, dalam pembatalan perkawinan, pengajuannya dapat dilakukan oleh:

  1. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
  2. Suami atau istri (pasangan yang bersangkutan); dan
  3. pejabat yang berwenang, selama perkawinan belum diputuskan. 

Terkait harta gono-gini, dalam perceraian sangat mungkin terjadinya sengketa pembagian harta bersama atau harta gono-gini. Namun, dalam pembatalan perkawinan, perkawinan atau pernikahan dianggap tidak pernah ada atau terjadi sehingga salah satu pihak akan kesulitan dalam menuntut pembagian harta bersama atau gono-gini.

Tata Cara Pembatalan Perkawinan

Kemudian penjelasan penutup dari saya adalah tentang tata cara atau Langkah-langkah pembatalan perkawinan adalah Pihak-pihak tersebut diatas dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada pengadilan di daerah perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal suami dan/atau istri.

Tata cara pengajuannya dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan cerai.

1.     Pengajuan gugatan
Pihak yang berwenang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada pengadilan.

2.     Pemanggilan
Saat sidang hendak dilaksanakan, pengadilan akan melakukan pemanggilan kepada pribadi yang bersangkutan.

3.     Persidangan
Persidangan untuk memeriksa gugatan pembatalan perkawinan harus dilakukan oleh pengadilan selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat gugatan di kepaniteraan. Sebagai catatan, apabila telah dilakukan pemanggilan namun tergugat atau kuasanya tidak hadir, maka gugatan itu dapat diterima tanpa hadirnya tergugat. Kecuali, jika gugatan tersebut tanpa hak atau tidak beralasan. Pemeriksaan perkara gugatan pembatalan perkawinan ini dilakukan pada sidang tertutup.

4.     Perdamaian
Sebelum dan selama perkara gugatan belum diputuskan, pengadilan harus berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Apabila perdamaian terjadi, gugatan pembatalan perkawinan dinyatakan batal. Kemudian, jika ada gugatan baru, gugatan baru tersebut tidak boleh diajukan berdasarkan alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian atau yang telah diketahui pada waktu tercapainya perdamaian.

5.     Putusan
Meskipun pemeriksaan gugatan pembatalan perkawinan dilakukan dalam sidang tertutup, namun penyampaian putusannya harus dilakukan dalam sidang terbuka. Batalnya perkawinan dimulai sejak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Demikian tadi ulasan singkat tentang pembatalan perkawinan atau pernikahan sesuai dengan ketentuan UU di Indonesia.

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
  3. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

 

 

Pembatalan Pernikahan

http://Yanthie Maryanti – KMTH

Perbedaan Penipuan & Penggelapan
Perbedaan Penipuan & Penggelapan

Perbedaan Penipuan & Penggelapan

Perbedaan Penipuan & Penggelapan

Perbedaan antara penggelapan, dan penipuan sebagaimana dimaksud di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia.

Penggelapan diatur di dalam pasal 372 dan 374 KUHP,

sedangkan Penipuan diatur di dalam pasal 378 dan 379 a KUHP.

Perbedaan sederhana :

Untuk penggelapan,

  • cara memperoleh barang itu bukan karena perbuatan melawan hukum, atau cara memperoleh barang bukan karena kejahatan.

Sedangkan penipuan,

  • cara memperoleh barang itu karena perbuatan melawan hukum, atau karena sudah ada kejahatan yang dilakukan,

Penggelapan yang diatur dalam pasal 372 itu sebenarnya obyeknya hanya disebut barang, tetapi pada kenyataan nya juga bisa berupa Uang.

Contoh Penggelapan yang di jelaskan dalam  pasal 372 KUHP :

  • Seseorang menyewa mobil untuk lima hari, setelah lima hari tidak mengembalikan mobilnya, maka si pemilik mobil dapat melaporkan orang tersebut dengan penggelapan, dengan syarat harus memberikan peringatan terlebih dahulu kepada orang tsb untuk mengembalikan dalam jangka waktu tertentu. Setelah jangka waktu itu lewat, maka masuk di dalam kategori penggelapan.

Pasal Penggelapan ini selanjutnya akan diatur dalam Pasal 486 UU 1/2023 (yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan yakni pada tahun 2026) yang menjelaskan bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum memiliki suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena tindak pidana, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.”

Pasal 372 KUHP tentang penggelapan ini adalah pidana biasa, sedangkan pidana yang diperberat itu diatur di dalam pasal 374 KUHP.

Maksud dari diperberat di sini adalah, Karena 374 KUHP adalah tentang penggelapan yang dilakukan dalam jabatan, atau dalam pekerjaan seseorang menerima upah.

Contoh Penggelapan yang di jelaskan dalam pasal 374 KUHP

  • Seorang bendahara di sebuah PT, yang memegang memegang bagian keuangan, membuat data-data yang palsu, dan kemudian ada dana-dana yang di gunakan secara pribadi. Maka, itu masuk dengan pemberatan, utuk 372 ancamannya 4 tahun, sedangkan 374 karena ada pemberatan dan dalam lingkup pekerjaan, maka ancamannya agak tinggi yaitu 5 tahun.

Kemudian untuk penipuan yang diatur dalam pasal 378.

  • Terjadi karena perbuatan melawan hukum, atau karena kejahatan dengan memakai tipu muslihat, nama palsu, rangkaian kebohongan, menggerakan orang untuk menyerahkan barang sesuatu, menghapuskan piutang, atau memberikan hutang.

Jadi cara memperoleh barang itu sudah dilakukan dengan adanya keinginan sejak awal untuk melakukan penipuan dengan cara memakai nama palsu, martabat palsu, rangkaian kebohongan, dan lain sebagainya .Sehingga orang tergerak untuk menyerahkan barang, memberikan hutang, atau menghapuskan piutang. Itu mengenai penipuan.

Sedangkan penipuan yang diatur di dalam pasal 379a

  • orang-orang yang bergerak, untuk menggerakan orang lain dengan cara memberi barang. Jadi ruang lingkupnya lebih sempit, dia tidak mengenai uang, tetapi dia mengenai pembelian barang.

Contohnya :

  • seseorang membeli barang, dari toko A seharga 10 juta, dan hanya dibayar 5 juta. Kemudian melakukan pembelian lagi dari toko C, seharga 50 juta dan hanya di bayar 20 juta kemudian membeli lagi di took lain dengan pembayaran yang serupa

Jadi pasal 379a itu adalah pekerjaan yang di lakukan, sebagai mata pencaharian, untuk kemudian mendapatkan keuntungan bagi pribadi dengan sengaja, tidak membayar lunas semua pembelian-pembelian barang yang di lakukan di beberapa toko.

Dalam pasal 379a itu harus melibatkan pelapor minimal 2 orang.

Terkait dengan pasal penipuan selanjutnya akan di atur dengan pasal 492 UU 1/2023 (yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan yakni pada tahun 2026) dimana dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa “Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.

Jadi kesimpulannya cara memperolah barang itu berbeda,

  • penggelapan 372 dan 374 bukan karena kejahatan, atau dari awal ia itu sah mendapatkan barang. Sah ia mendudukkan untuk memegang uang.
  • penipuan itu memang sejak awal didapatkannya dari suatu proses kejahatan, kesengajaan untuk tidak melakukan pembayaran, atau menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya.

Selanjutnya jika di lihat dari Unsur Pasal Penipuan dan Penggelapan

Dalam pasal penipuan berisi unsur penipuan seperti:

  1. Barang siapa
  2. Dengan maksud
  3. Untuk menguntungkan dirinya atau orang lain dengan cara melawan hukum
  4. Dengan menggunakan nama palsu, tipu muslihat, martabat palsu, rangkaian kebohongan.
  5. Membujuk atau menggerakkan orang lain agar memberikan barang, memberikan hutang atau menghapuskan piutang.

Jadi bisa dikatakan bahwa yang ada dalam Pasal penipuan tersebut merupakan tindakan yang dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum.

Sedangkan untuk unsur dalam pasal penggelapan yang ada dalam Pasal 372 adalah:

  1. Unsur subjektif yang merupakan unsur kesengajaan yang termasuk mengetahui dan menghendaki. Sehingga juga bisa dikatakan bahwa penggelapan termasuk dalam delik sengaja.
  2. Unsur objektif yang terdiri atas:
  • Barang siapa
  • Menguasai dengan cara melawan hukum
  • Suatu benda
  • Sebagian atau seluruhnya milik orang lain
  • Benda yang dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan

Jadi, dari keterangan yang sudah saya uraikan di atas, maka bisa di ambil kesimpulan bahwa Perbedaan Penipuan dan Penggelapan

Hal yang
Membedakan
PenipuanPenggelapan
Perolehan BarangBarang tersebut awalnya ada pada korban yang selanjutnya diberikan atau diserahkan kepada pelaku dengan daya upaya yang dilakukan pelaku.Barang yang hendak dimiliki pelaku diperoleh bukan dari tindak pidana, melainkan sudah dikuasai secara nyata dan sah oleh pelaku.
ObyekMencakup memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang.Terbatas pada barang atau uang.
Niat PelakuSedari awal, pelaku membujuk korban untuk menyerahkan atau memberikan barang.Niat memiliki barang baru ada setelah barang tersebut untuk sekian waktu sudah berada di tangan pelaku.

Perbedaan Penipuan & Penggelapan

Yanthie Maryanti – KMTH

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Fenomena Human Trafficking
Fenomena Human Trafficking

Perdagangan Manusia atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atau yang sering di sebut dengan Human Trafficking masih menjadi kasus yang serius di seluruh penjuru dunia, dan tidak terkecuali di Indonesia.

Dalam Pasal 1 angka 1 UU 21/2007 mendefinisikan perdagangan orang atau perdagangan manusia adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

sekilas tentang Pengalaman pribadi, Pada thn 2004 seminggu setelah pengumuman kelulusan SMK, dan menyadari bahwa kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan untuk melanjutkan kuliah maka saat itu juga saya memutuskan untuk mencari pekerjaan dan berfikir sekiranya dengan bekerja saya bisa melanjutkan kuliah.

Disaat yang bersamaan saya bertemu dengan seorang sponsor yang sedang mencari calon pekerja migran atau saat itu lebih di kenal sebagai TKW alias tenaga kerja wanita

Dengan iming2 janji gaji besar dan juga semua fasilitas dan keperluan akan di biayai masih lagi keluarga di rumah di beri uang. Maka dari situ saya ikut perekrutan yang di lakukan oleh sponsor tersebut tanpa di jelaskan tentang potongan gaji dan lain2.

Yang di jelaskan hanya fasilitas, uang saku dan juga gaji yang saya rasa sangat banyak untuk  remaja seumuran saya waktu itu yang baru lulus SMK.

Singkat cerita saya di bawa ke sebuah PT dan melakukan medical check up yang kemudian setelah hasil nya FIT, saya di buatkan paspor yang ternyata umur saya dibuat 7 taun lebih tua dari umur sebenarnya.dimana saya yg masih berumur 17 tahun dibuatkan paspor dengan umur 24 tahun

Selesai proses dokumen, kemudian saya dan beberapa teman lainya di kirim ke Batam dengan Kapal selama 3 hari perjalanan sebelum akirnya sampai ke Singapore,

dan betapa kagetnya saat sampai di agen Singapore kita di beri penjelasan bahwa saya ttidak akan menerima gaji selama 8 bulan yang kemudian akan di tambahkan lagi 2 bulan untuk biaya administrasi keberangkatan , jadi total nya genap 10 bulan atau hampir 1 tahun bekerja tanpa gaji.

Di samping itu selama di pt banyak dari teman2 yang lama tidak berangkat kemudian di pekerjakan sebagai pekerja seks komersial karena penyalur tidak mau rugi dengan menampung mereka terlalu lama,

Demikian sekilas tentang pengalaman pribadi yang pernah saya alami, dan dari kejadian tersebut saya ingin sedikit memberikan tanggapan dari sisi kemanusiaan dan hukum yang ada di indonesia, bahwasanya dari jaman dulu HUMAN TRAFFICKING atau perdagangan orang bukanlah hal yg asing hanya saja pada masa itu blm banyak masyarakat yang mengerti dan paham dengan hukum dan peraturan seperti masyarakat sekarang.

Dari aspek moral dan kemanusiaan, Tingkat Moralitas manusia terendah  bagi saya adalah

  1. Moralitas takut dihukum
  2. Moralitas perhitungan untung dan rugi

Moralitas Takut di hukum disini yang saya maksud adalah, moralitas di mana manusia mematuhi tata tertib dan hukum karena di tak mau di hukum atau di kenakan sanksi bukan karena kesadaran dari diri sendiri yang akirnya mereka akan mematuhi aturan karena mereka menghindari hukuman dan ini berimbas dengan pemikiran bahwa selama tidak ketahuan dan bisa di negoisasikan maka pelanggaran akan tetap dilakukan karena saat mereka akan di kenakan sanksi mereka akan mencari perlindungan atau bernegosiasi dengan aparatur negara atau pemerintah bahkan dengan penegak hukum.

Yang ke-2, Moralitas perhitungan untung rugi.
Inilah point terpenting dimana Human Trafficking terjadi, yaitu para pelaku dengan sengaja masuk ke daerah2 dan mengambil orang2 dengan tipu daya, janji palsu , iming2 yang menggiurkan kemudian di berangkatkan dengan dokumen palsu sehingga secara tidak langsung orang2 ini di jual kepada agen2 yang akan menyalurkan mereka kepada pemberi kerja atau bahkan di jual untuk di jadikan pekerja2 seks komersial atau pun budak.

Letak perhitungan untung ruginya adalah, saat sang penyalur bernegoisasi harga dengan agen, pelaku sudah sangat detail memperhitungkan keuntungan nya bahkan sampai pada titik kemungkinan apabila mereka tertangkap oleh para penegak hukum. Karena seperti yang kita ketahui bersama di dalam penegakan hukum di indonesia banyak sekali para oknum2 aparatur negara yang bisa  memperlicin jalan nya Human Traficking ini, maka di sinilah para pelaku sudah memperhitungkan semuanya.

Dan yang membuat orang2 tidak berani buka suara, selain tingkat SDM dan pengetahuan nya yang bisa di bilang kurang, akan merasa takut karena sudah di ancam oleh para pelaku/sindikat2 Human Trafficking tersebut dengan hukuman penjara atau ancaman denda atas pemalsuan dokumen tersebut.

Jadi Kesimpulan nya , Apabila para aparatur negara, aparatur pemerintah sampai ke daerah dan e desa2 sebagian besar berada di tingkat moralitas yang rendah maka kejahatan termasuk Human Trafficking akan terus ada sampai kapanpun, dan tidak bisa kita pungkiri moralitas seperti ini lah yang banyak terjadi di tanah air kita Indonesia.

Pemberantasan sindikat2 Human Trafficking akan berjalan apabila adanya kesadaran, persaudaraan dan cinta tanah air dari maasyarakat bersama2 dengan aparatur negara, mulai  pemerintahan,daerah dan desa juga para penegak hukum, yang selalu menanamkan jiwa Pancasila dalam hati serta hidup kita dan mereka semua.

Menurut Dalam Pasal 57 ayat (2) UU 21/2007Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang. Dan juga di jelaskan dalam pasal 58 UU 21/2007 bahwa  Untuk melaksanakan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengambil langkah-langkah untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang dan untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaannya, pemerintah membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/ akademisi.

Fenomena Human Trafficking

http://Yanthie Maryanti – KMTH

PENAHANAN DOKUMEN PRIBADI OLEH PERUSAHAAN
PENAHANAN DOKUMEN PRIBADI OLEH PERUSAHAAN

PENAHANAN DOKUMEN PRIBADI OLEH PERUSAHAAN

  1. Apakah perusahaan boleh menahan dokumen pribadi karyawan ?
  2. Apakah ada UU yang mengatur penahanan dokumen?
  3. Apakah karyawan boleh menuntut apabila dokumen pribadi di jadikan jaminan bekerja ?
PENAHANAN DOKUMEN PRIBADI OLEH PERUSAHAAN

PEMBAHASAN :

Dalam UU ketenagakerjaan khususnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan),tidak mengatur hukum tentang penahanan dokumen pribadi, akan tetapi juga tidak menyaranan untuk perusahaan melakukan penahanan.

Kekuatan hukum yang menjamin hubungan antara perusahaaan dan karyawan adalah kesepakatan kerja atau sering juga di sebut perjanjian kerja. Sedangkan perjajian atau kesepakatan kerja bersifat otonom jadi penahanan dokumen pribadi itu sah menurut hukum atas dasar perjanjian/kesepakatan kerha yang dibuat oleh perusahaan dan di setujui oleh karyawan. Sesuai dengan isi dari pasal 1320 KUH Perdata,

Syarat sah perjanjian menurut pasal 1320 KUH Perdata :

  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
  3. Suatu hal tertentu.
  4. Suatu sebab yang halal.

maka  perusahaan boleh saja, sah-sah saja melakukan penahanan dokumen pribadi karyawan melalui sebua perjanjian yang dibuat oleh perusahaan yang di setujui oleh karyawan tanpa adanya suatu paksaan atau alasan apapun,

Alasan perusahaan melakukan penahanan dokumen karyawan :

  • sebagai jaminan agar karyawan tidak resign sebelum kontrak kerja berakhir.

Saat melakukan perjanjian kerja dengan syarat penahanan dokumen, ada beberapa hal yang harus di perhatikan :

  1. Pastikan Ketentuan Tahan Ijazah ada dalam Perjanjian Kerja
    Dalam praktiknya, terkadang ketentuan penahanan ijazah hanya ketentuan yang diucapkan secara lisan, tanpa tertuang dalam surat perjanjian kerja. Jika seperti ini, kamu harus pastikan lagi saat membaca perjanjian kerja.
  • Baca Poin-poin Perjanjian Kerja dengan Teliti
    Sebelum kamu menandatangani surat perjanjian kerja, bacalah dengan teliti setiap poin dalam perjanjian kerja. Terutama poin yang menerangkan penahanan ijazah. 

Apabila ada poin-poin dalam perjanjian kerja yang tidak kamu pahami, jangan ragu tanyakan kepada perusahaan terlebih dahulu.

Pastikan lagi kamu sudah membaca semua poin hak dan kewajiban pada perjanjian kerja sebelum kamu menandatangani surat perjanjian kerja.

Pastikan ada poin yang menulis bahwa, saaat karyawan resign ijasah harus di kembalikan,

  • Ketahui Alasannya|

Jika kamu menemukan ketentuan harus menahan ijazah saat melamar pekerjaan, penting sekali untuk kamu tahu apa alasannya. 

Bisa jadi penahanan ijazah yang dilakukan perusahaan tidak ada kaitannya dengan kontrak kerja, tapi karena alasan lainnya. Misalnya penggunaan fasilitas kantor seperti kendaraan untuk bekerja atau lainnya. 

  • Cari Tahu Berapa Lama Ijazah Ditahan
    Berapa lama ijazah akan ditahan oleh perusahaan? Biasanya perusahaan akan menahan ijazah selama masa probation (percobaan). Namun, ada juga perusahaan yang menahan ijazah selama masa kontrak kerja atau selama kamu bekerja di sana.

Ketahuilah berapa lama perusahaan menahan ijazah. Perhatikan dengan jeli ketentuan yang membahas penahanan ijazah dalam kontrak kerja.  

Tidak lupa juga, ketahui bagaimana jika ingin mendapatkan kembali ijazahmu. Apakah ijazah harus ditebus dengan membayar penalti jika resign sebelum masa kontrak habis? Atau adakah ketentuan lainnya? Pastikanlah hal ini!

  • Cari Tahu Informasi Mengenai Perusahaan
    Pahami seluk beluk tentang perusahaan sebelum kamu menandatangani surat perjanjian kerja. 

Kamu dapat mencari tahu apakah menahan ijazah adalah hal yang biasa dilakukan. Cari tahu juga, apakah ketentuan penahanan ijazah ini berlaku untuk semua karyawan atau hanya untuk posisi tertentu.

  • Kamu Bisa Setuju atau Menolak
    Sebelum kamu menandatangani surat perjanjian kerja, kamu memiliki hak untuk menolak atau setuju dengan penahanan ijazah.  

Kamu bisa menanyakan apa konsekuensi yang didapatkan jika menolak kebijakan  menahan ijazah. Ajak perusahaan untuk menegosiasikan hal ini sebelum kamu menandatangani kontrak kerja.

  • Minta Serah Terima Acara Penyerahan
    Bila kamu setuju ijazah akan ditahan oleh perusahaan, sebagai bukti mintalah berita acara serah terima saat kamu menyerahkan ijazahmu. 

Yang terpenting, serah terima tertulis dan pastikan nama dan jabatan yang melakukan serah terima itu jelas, karena kadang HRD itu bisa berganti2 orang, jadi pastikan nama nya jelas tertera kalo perlu ada stempel perusahaan,

Berita acara serah terima ini adalah bukti sah jika ijazahmu ada di perusahaan untuk jangka waktu tertentu, dan segala hal yang berkaitan dengan ijazah tersebut menjadi tanggung jawab perusahaan.

Dokumen ini juga yang akan kamu gunakan untuk mengambil ijazahmu kembali setelah masa penahanan ijazah berakhir.

Note :

Kontrak kerja/ perjanjian kerja harus rangkap 2

Saat karyawan sudah resign, tp dokumen tidak di kembalikan,

Langkah yang harus di lakukan oleh karyawan adalah

  1. datang ke perusahaan secara langsung untuk meminta kembali ijasah dan dokumen lain
  2. jika tidak di berikan, maka karyawan melakukan mediasi dengan cara, datang dan mintalah ke disnaker untuk menjadi fasilitator untuk menyelesaikan masalah ini dan laporkan saja ke disnaker bahwa dokumen pribadi anda ditahan oleh perusahaan
  3. jika langkah mediasi tidak berasil maka karyawan bisa melaporkan perusaaan
  4. bisa dengan gugatan perdata (wanprestasi)
  5. bisa dengan gugatan pidana(penggelapan) berdasarkan pasal 374 KUHP yang menyebutkan bahwa:

“Penggelapan yang dilakukan terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”

PENAHANAN DOKUMEN PRIBADI OLEH PERUSAHAAN

Yanthie MaryantiKMTH

STOP KDRT
STOP KDRT

STOP KDRT

STOP KDRT

A.    Definisi KDRT

Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT, sebagaimana dikemukakan  dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

KDRT adalah persoalan yang rumit untuk dipecahkan. Ada banyak alasan. Dalam suatu kejadian, bisa saja pelaku KDRT benar-benar tidak menyadari bahwa apa yang telah ia lakukan adalah merupakan tindak KDRT. Atau, bisa jadi pula, pelaku menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan tindakan KDRT. namun, ia mengabaikannya lantaran berlindung diri di bawah norma-norma tertentu yang telah mapan dalam masyarakat. Sehingga menganggap perbuatan KDRT sebagai hal yang wajar dan pribadi.

B.    BENTUK KDRT

1.    Kekerasan fisik
2.    Kekerasan psikis
3.    Kekerasan seksual
4.    Penerlantaran Rumah Tangga
.
C.   Perlindungan Hukum KDRT

UU KDRT juga telah memberikan larangan bagi setiap orang untuk melakukan kekerasan baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun penelantaran rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya (lihat Pasal 5 UU KDRT). Kekerasan fisik yang dimaksud pasal tersebut adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (lihat Pasal 6 UU KDRT) sehingga termasuk pula perbuatan menampar, menendang dan menyulut dengan rokok adalah dilarang.

Pasal 26 ayat (1) UU KDRT menentukan bahwa yang dapat melaporkan secara langsung adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya, keluarga atau pihak lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban (lihat Pasal 26 ayat [2] UU KDRT).

Meski demikian, pihak keluarga masih dapat melakukan tindakan lain untuk mencegah berlanjutnya kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat untuk turut serta dalam pencegahan KDRT ini diatur dalam Pasal 15 UU KDRT yang berbunyi sebagai berikut :

“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :
a)    mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b)    memberikan perlindungan kepada korban;
c)    memberikan pertolongan darurat; dan
d)    membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.”

Namun, dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban (lihat Pasal 30 ayat [1], ayat [3], dan ayat [4] UU KDRT). Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan tersebut, misalnya: pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya. – STOP KDRT

Korban KDRT dilindungi haknya oleh UU KDRT yaitu untuk mendapatkan (Pasal 10 UU KDRT) :
a.    perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b.    pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c.     penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d.    pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e.     pelayanan bimbingan rohani.
 
D.   Jerat Hukum Pelaku

Ancaman pidana terhadap kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga ini adalah pidana penjara pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15 juta (lihat Pasal 44 ayat [1] UU KDRT).
Dan khusus bagi KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5 juta (lihat Pasal 44 ayat [4] UU KDRT). 
 
Penjelasan pasal :
1.    Pasal 6 UU KDRT
2.    Pasal 5 UU KDRT
3.    Pasal 26 ayat (1) UU KDRT 
4.    Pasal 26 ayat [2] UU KDRT
5.    Pasal 15 UU KDRT 
6.    Pasal 30 ayat [1], ayat [3], dan ayat [4] UU KDRT
7.    Pasal 10 UU KDRT
8.    Pasal 44 ayat [1] UU KDRT
9.    Pasal 44 ayat [4] UU KDRT).
 
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

STOP KDRT
 Yanthie Maryanti – KMTH

Polisi Bukan "Debt Colector"
Polisi Bukan “Debt Colector”

Polisi Bukan “Debt Colector”

Polisi Bukan "Debt Colector"

Urusan utang piutang adalah murni hubungan keperdataan antara si berutang dan yang mengutangkan saja yang berdasarkan Pasal 1754 jo. 1338 jo. 1319 KUH Perdata tunduk pada KUH Perdata, yang lebih lanjut mekanisme penagihannya harus sesuai dengan ketentuan acara hukum perdata.

Apabila merasa kesulitan dalam menagih utang, seorang kreditur atau pemberi utang dapat menggunakan jasa penagih utang, misalnya debt collector. Akan tetapi, perlu diingat bahwa debt collector pun memiliki beberapa skema etika atau yang biasa di sebut dengan “kode etik” menagih pembayaran dalam proses penagihan utang.Kemudian, jika ingin menempuh jalur hukum, seseorang dapat menggunakan jasa atau kuasa untuk menagih utang melalui advokat atau pengacara penagih utang, termasuk mengirimkan somasi dan melayangkan gugatan.

Sekali lagi, saya tekankan serta menghimbau kepada semuanya bahwa siapapun tidak dapat meminta polisi menjadi penagih utang karena bertentangan dengan Peraturan Disiplin Kepolisian. Apabila dalam praktiknya ditemukan polisi yang bertindak demikian, pihak yang dirugikan dapat melaporkan anggota kepolisian tersebut kepada Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.

Dasar hukum :

Pasal 1338 KUHPerdata

Pasal 1754 jo. 1338 jo. 1319 KUH Perdata tunduk pada KUH Perdata,

Pasal 13 UU Kepolisian

PP No.2 th 2003 (peraturan disiplin kepolisian)

Polisi Bukan “Debt Colector”

Yanthie MaryantiKMTH

Berfikir Kritis
Berfikir Kritis
Berfikir Kritis

Berfikir kritis menjadi salah satu soft skill yang diperlukan dalam meningkatkan karier dan kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Seorang yang berpikir kritis seringkali memiliki manfaat terhadap kepemimpinannya yang sukses. Berpikir kritis adalah kemampuan berpikir dengan rasional dan melihat permasalahan secara objektif sehingga hasil yang akan diperoleh tidak bias dan sesuai dengan kenyataan yang ada.

Sering kali, orang yang berpikir kritis akan terpojok dalam suatu keadaan dimana orang lain akan menyangka bahwa cara berpikir kritis itu dianggap untuk menjatuhkan, menyerang bahkan untuk mencari kesalahan orang lain, terlebih lagi saat hubungannya dengan birokrasi sudah bisa dipastikan bahwa orang yang mampu berpikir kritis adalah pelopor pemberontak kebijakan.

Perlu diketahui bersama berpikir kritis adalah pengajuan argumen secara rasional untuk menghindari kesalahan berpikir, yang akan menghasilkan sebuah pandangan logis terhadap suatu dal atau permasalahan.

Berfikir Kritis

Yanthie MaryantiKMTH