Yanthie Maryanti
Aset Suami Dapat Diajukan Sita Ke Pengadilan
Aset Suami Dapat Diajukan Sita Ke Pengadilan

Aset Suami Dapat Diajukan Sita Ke Pengadilan Sebagai Jaminan Pemenuhan Nafkah Anak

Pada Surat Edaran Mahkamah Agung No 5. Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2021 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, yang menyatakan:

Istri Dapat Mengajukan Permohonan Penetapan Sita Harta Milik Suami

Aset Suami Dapat Diajukan Sita Ke Pengadilan

“Untuk memenuhi asas kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child) dan pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Terhadap pembebanan nafkah anak, istri dapat mengajukan permohonan penetapan sita terhadap harta milik suami sebagai sebagai jaminan pemenuhan nafkah anak dan objek jaminan dan objek jaminan tersebut diuraikan secara rinci dalam posita dan petitum gugatan, baik dalam konvensi, rekonvensi, ataupun gugatan tersendiri”

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:

  1. Istri dapat meminta suami menafkahi anak setelah bercerai;
  2. Aset suami bisa disita untuk jaminan nafkah terhadap anak
  3. Dapat dilakukan permohonan penetapan sita terhadap harta suami tersebut ke pengadilan bila mantan suami tidak menafkahi anak. Permohonan penetapan sita ini bisa diajukan kepada pengadilan bila sebelumnya aset suami yang hendak disita sudah pernah dimintakan dalam gugatan cerai. Jika belum pernah, maka dapat mengajukan gugatan tersendiri khusus mengenai nafkah ini, setelah itu baru mengajukan permohonan penetapan sita ke pengadilan terhadap aset suami tersebut.

Jakarta, 2 Januari 2024

Sumber artikel : T.S.PLAWFIRM

Aset Suami Dapat Diajukan Sita Ke Pengadilan

Yanthie Maryanti; Desain website oleh Cahaya Hanjuang

Apa Saja Alat Bukti Dalam Hukum Pidana?
Apa Saja Alat Bukti Dalam Hukum Pidana?

Apa Saja Alat Bukti Dalam Hukum Pidana?

Alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah sebagai berikut:

Keterangan saksi

Menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

  • Surat
Apa Saja Alat Bukti Dalam Hukum Pidana?

Menurut Pasal 187 KUHAP, Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

  • Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
  • Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
  • Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;
  • Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Keterangan ahli

Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

  • Petunjuk

Pasal 188 KUHAP ayat (1), Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Keterangan terdakwa

Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP, Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Dasar Hukum Alat Bukti Keterangan Terdakwa diatur dalam :

  1. Keterangan terdakwa: Pasal 184 huruf e dan Pasal 189 KUHAP.
  2. Pemeriksaan terdakwa: Pasal 175 sampai Pasal 178 KUHAP.

Sumber artikel : T.S.PLAWFIRM

Apa Saja Alat Bukti Dalam Hukum Pidana?

Yanthie Maryanti; Desain website oleh Cahaya Hanjuang

Pembeli Beritikad Baik Dilindungi Oleh Hukum
Pembeli Beritikad Baik Dilindungi Oleh Hukum

Pembeli Beritikad Baik Dilindungi Oleh Hukum

Pada Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 7/2012 menyatakan bahwa perlindungan harus diberikan kepada pembeli beritikad baik sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak.

Apa syarat Pembeli Beritikad Baik?

Pembeli Beritikad Baik Dilindungi Oleh Hukum

Mahkamah Agung membuat pedoman terkait pengertian dan syarat pembeli beritikad baik dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 (“SEMA 4/2016”) sebagai berikut:

  1. Melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan.
  2. Melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal yang berkaitan dengan objek Tanah yang diperjanjikan,

Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 251 K/Sip/1958 tanggal 26 Desember 1958 yang pada intinya berbunyi”

“Pembeli yang telah bertindak dengan itikad baik harus dilindungi dan jual beli yang bersangkutan haruslah dianggap syah”

Sumber artikel : T.S.PLAWFIRM

Jakarta, 27 Desember 2023

Pembeli Beritikad Baik Dilindungi Oleh Hukum

Yanthie Maryanti; Desain website oleh Cahaya Hanjuang

Apakah Boleh Menjadi Ateis Di Indonesia?
Apakah Boleh Menjadi Ateis Di Indonesia?

Apakah Boleh Menjadi Ateis Di Indonesia?

Kata “ateisme” dapat dipahami dari kata-kata penyusunnya. Imbuhan “a” berarti “tanpa” atau “kurang” dan “teisme” berasal dari istilah Yunani “theos” yang berarti Tuhan. Apabila “teisme” berarti kepercayaan kepada Tuhan”, maka pemahaman yang paling umum dari istilah “ateisme” adalah ketidakyakinan pada Tuhan. Oleh sebab itu “ateis” merupakan individu yang tidak percaya pada Tuhan.

Lebih lanjut menurut Nurcholish Majid, pada dasarnya ateisme adalah paham yang mengingkari adanya Tuhan. Bagi kaum ateis, yang ada ialah alam kebendaan dan kehidupan pun terbatas hanya dalam kehidupan duniawi ini saja. Kehidupan ruhani serta alam setelah kematian adalah khayal manusia yang tidak terbukti kebenarannya, karena itu mereka tolak.

Adapun dalam KBBI, pengertian ateisme adalah paham yang tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa secara sederhana ateisme diartikan sebagai paham tidak mempercayai adanya Tuhan. Sedangkan orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan, disebut dengan ateis.

Apakah Boleh Menjadi Ateis Di Indonesia?

Pancasila sebagai ideologi negara sekaligus dasar filosofis negara Indonesia, sila pertama menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengandung makna adanya keyakinan terhadap Tuhan, yang menciptakan alam semesta beserta isinya.

Apakah Boleh Menjadi Ateis Di Indonesia?

Hal ini juga ditegaskan Yudi Latif dalam buku Negara Paripurna yang menyatakan bahwa kuatnya saham keagamaan dalam fondasi kebangsaan Indonesia membuat arus besar pendiri bangsa tidak membayangkan ruang publik hampa Tuhan. Sejak dekade 1920-an, ketika Indonesia mulai dibayangkan sebagai komunitas politik bersama, mengatasi komunitas kultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak terlepas dari Ketuhanan (hal. 67).

Lebih lanjut, prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ini juga tertuang dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:

Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berdasarkan hal tersebut, maka unsur ateisme bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi, sepanjang penelusuran kami tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara tegas dan eksplisit melarang ataupun memberikan sanksi bagi seorang ateis.

Artinya, secara hukum, tidak ada peraturan perundang-undangan yang tegas melarang seseorang menganut paham ateisme. Konsekuensi hukum dari seseorang yang menganut paham ateisme adalah tidak dapat menikmati hak-hak yang pada umumnya bisa dinikmati mereka yang menganut agama tertentu di Indonesia.

Misalnya kesulitan mengurus perkawinan, karena menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Perkawinan mengatur bahwa perkawinan sahapabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Selain itu, juga akan kesulitan mengurus dokumen-dokumen kependudukan seperti KTP yang mengharuskan adanya pencantuman agama atau kepercayaan.

Penyebar Paham Di Indonesia Dapat Dikenakan Sanksi Pidana

Berbeda halnya halnya dengan ateis yang “hanya” menganut paham ateisme, penyebar paham ateisme di Indonesia dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini diatur di dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan yaitu tahun 2026 sebagai berikut.

Pasal 156a KUHP

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

Apakah Boleh Menjadi Ateis Di Indonesia?

yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal 302 UU 1/2023

Setiap orang yang di muka umum menghasut agar seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III yaitu Rp50 juta.

Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan atau berpindah agama atau kepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV yaitu Rp200 juta.

Berdasarkan Pasal 156a KUHP di atas dapat dipahami bahwa seorang ateisme dilarang menyebarkan paham ateisme. Sementara jika seseorang menyebarkan ateisme dengan cara menghasut atau menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain menjadi ateis dapat dipidana berdasarkan Pasal 302 UU 1/2023

Apakah Di Indonesia Boleh Agnostik?

Menurut Kamarusdiana dalam buku Filsafat Hukum (hal. 153) agnostisisme didefinisikan sebagai berikut:

Agnostisisme adalah suatu pandangan filosofis bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim tertentu umumnya yang berkaitan dengan theology, metafisika, keberadaan Tuhan, dewa dan sebagainya adalah tidak dapat diketahui dengan akal pikiran manusia yang terbatas, karena pengetahuan yang terbatas dan membawa keterbatasan dari segi ilmu pengetahuan.

Lebih lanjut Helmy Hidayatulloh (hal. 77) menjelaskan bahwa agnostisisme berarti tidak memiliki pengetahuan tentang Tuhan dan percaya bahwa pengetahuan tentang Tuhan tidak dapat diperoleh. Adapun penganut agnostisisme ini disebut dengan agnostik.

Sementara, menurut KBBI, agnostisisme adalah paham yang mempertahankan pendirian bahwa manusia itu kekurangan informasi atau kemampuan rasional untuk membuat pertimbangan tentang kebenaran tertinggi. Agnostisisme juga diartikan sebagai keyakinan bahwa manusia tidak memiliki pengetahuan tentang Tuhan.

Lebih lanjut, menurut KBBI, agnostik adalah orang yang berpandangan bahwa kebenaran tertinggi (misalnya Tuhan) tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan dapat diketahui.

Agnostik juga dapat diartikan sebagai orang yang berpendapat bahwa beberapa aspek supranatural selamanya tertutup bagi pengetahuan manusia.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami bahwa agnostisisme suatu pandangan bahwa ada atau tidaknya Tuhan adalah suatu yang tidak diketahui atau tidak dapat diketahui. Sementara ateisme merupakan paham yang tidak mempercayai adanya Tuhan.

Lantas, apakah di Indonesia boleh agnostik? Mengacu pada ulasan di atas dapat dipahami bahwa terhadap paham agnostisisme maupun ateisme tidak secara tegas dilarang ataupun ditentukan sanksi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Akan tetapi, patut diperhatikan Pasal 156a KUHP yang melarang seorang ateis ataupun agnostik menyebarkan pahamnya dengan tujuan agar orang lain tidak menganut suatu agama apapun. Terlebih jika penyebarannya dilakukan dengan cara menghasut atau dengan ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan, Pasal 302 UU 1/2023 melarang hal tersebut.

Sumber artikel : Hukum Online

Apakah Boleh Menjadi Ateis Di Indonesia?

Yanthie Maryanti; Desain website oleh Cahaya Hanjuang

Hal-hal Yang Harus Diperhatikan Perusahaan Pembiayaan (Leasing) Dalam Melakukan Penagihan Dan Penarikan
Hal-hal Yang Harus Diperhatikan Perusahaan Pembiayaan (Leasing) Dalam Melakukan Penagihan Dan Penarikan

Hal-hal Yang Harus Diperhatikan Perusahaan Pembiayaan (Leasing) Dalam Melakukan Penagihan Dan Penarikan

PENCERAHAN HUKUM

A. DEBT COLLECTOR

Perusahaan pembiayaan dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan fungsi penagihan kepada Debitur (Pasal 48 ayat (1) Peraturan OJK No. 23 Tahun 2018).

Pihak ketiga yang akan melakukan penagihan tersebut tidak bisa sembarangan melainkan harus memenuhi syarat-syarat, yaitu:

  • berbentuk badan hukum;
  • pihak lain tersebut memiliki izin dari instansi berwenang;
  • sertifikasi dari lembaga sertifikasi profesi di bidang pembiayaan bila perusahaan Pembiayaan (kreditur) bekerjasama dengan pihak ketiga yang tidak memenuhi syarat di atas, maka perusahaan pembiayaan wajib bertanggung jawab penuh atas segala dampak yang ditimbulkan dari kerja sama dengan pihak lain.

Wajib Adanya Sertifikat Fidusia

Pasal 5 UU Fidusi menyatakan pembebanan benda jaminan fidusia dibuatkan dengan akta notaris yaitu akta jaminan fidusia. Setelah itu akta jaminan fidusia wajib didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia (Pasal 11 UU Fidusia Jo PP 21/2015 Pendaftaran Jaminan Fidusia). Baru kemudian akan diterbitkan sertifikat jaminan fidusia (Pasal 14 UU Fidusia). Nah, sertifikat jaminan fidusia ini lah yang berkekuatan eksekutorial seperti putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (Pasal 15 UU Fidusia).

Hal-hal Yang Harus Diperhatikan Perusahaan Pembiayaan (Leasing) Dalam Melakukan Penagihan Dan Penarikan

Jadi tidak bisa perusahaan pembiayaan atau tim penagih (kretidur) melakukan eksekusi objek tanpa membawa dan memperlihatkan sertifikat fidusia kepada debitur. Bila perusahaan pembiayaan tidak punya sertifikat fidusia, maka tidak bisa langsung eksekusi, melainkan harus menggugat dulu ke pengadilan.

Cara Penagihan Yang Diperbolehkan Hukum

Cara penagihan diatur pada Pasal 50 Peraturan OJK No. 35 Tahun 2018 menyatakan Eksekusi agunan oleh Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  1. Debitur terbukti wanprestasi;
  2. Debitur sudah diberikan surat peringatan;
  3. Perusahaan Pembiayaan memiliki sertifikat jaminan fidusia, sertifikat hak tanggungan, dan/atau sertifikat hipotek.

Eksekusi agunan wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur masing-masing agunan. Pada Pasal 7 Peraturan OJK No. 6/2022 juga menegaskan intinya tidak boleh menggunakan kekerasan dalam penagihan utang Konsumen.

Cara penagihan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 yaitu tim penagih (kreditur) datang saja dan sampaikan kepada debitur bahwa ia sudah cedera janji. Apabila debitur telah mengakui telah wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka tim penagih/kreditur boleh menerima dan membawa objek/benda tersebut (eksekusi sendiri/parate eksekusi) dan dibuatkan berita acara serah terima.

Apabila tidak ada sepakat akan hal itu, maka tim penagih/kreditur pergi saja dan selanjutnya ajukan eksekusi ke pengadilan.

Jakarta, 21 Desember 2023

Sumber artikel : T.S.PLAWFIRM

Hal-hal Yang Harus Diperhatikan Perusahaan Pembiayaan (Leasing) Dalam Melakukan Penagihan Dan Penarikan

Yanthie Maryanti; Desain website oleh Cahaya Hanjuang

Tindakan Bank Yang Melakukan Pendebatan Langsung Tanpa Persetujuan Atau Tanpa Kuasa Dari Nasabah Merupakan Perbuatan Melawan Hukum
Tindakan Bank Yang Melakukan Pendebatan Langsung Tanpa Persetujuan Atau Tanpa Kuasa Dari Nasabah Merupakan Perbuatan Melawan Hukum

Tindakan Bank Yang Melakukan Pendebatan Langsung Tanpa Persetujuan Atau Tanpa Kuasa Dari Nasabah Merupakan Perbuatan Melawan Hukum

PENCERAHAN HUKUM

Pasal 40 ayat (1) dan (2) UU Perbankan menyatakan bahwa:

  1. Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A. Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.
  2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak Terafiliasi.

Lebih lanjut diatur pada pasal 2 ayat (1) PBI 2/2000 yang menyatakan:

“Bank wajib merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan Nasabah.”

Melakukan Pembayaran Kartu Kredit Tanpa Persetujuan

Pada kasus Bapak R.E Baringbing selaku pemilik tabungan BCA dengan No.261.182960.0 dimana uang milik Baringbing telah dilakukan debit langsung untuk pembayaran kartu kredit dengan nila Rp. 24.969.139.00 (dua puluh empat juta sembilan ratus enam puluh sembilan ribu seratus tiga puluh sembilan rupiah) tanpa persetujuan baik lisan maupun tertulis.

Tindakan Bank Yang Melakukan Pendebatan Langsung Tanpa Persetujuan Atau Tanpa Kuasa Dari Nasabah Merupakan Perbuatan Melawan Hukum

Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 412PK/Pdt/2018 tertanggal 28 Juni 2018 Jo. Putusan No. 3677 K/Pdt/2016 Tentanggal 9 Februari 2016 Jo. Putusan Nomor 565/PDT/2015/PT.DKI Jo Putusan No. 513/Pdt.G/2014/PN.Jkt.Pst tertanggal 15 Mei 2015 yang menyatakan :

Bahwa Tergugat Termohon Peninjauan Kembali sudah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum sehingga telah diajtuhi hukuman membayar ganti rugi sebesar Rp. 24.969.139.00 (dua puluh empat juta sembilan ratus enam puluh sembilan ribu seratus tiga puluh sembilan rupiah) sesuai dengan besaran kerugian penggugat yang terbukti dan membayar bunga sebesar 6% per tahun

Sumber artikel : T.S.PLAWFIRM

Jakarta, 16 Desember 2023

Yanthie Maryanti; Desain website oleh Cahaya Hanjuang

CV Melakukan Perbuatan Melawan Hukum
CV Melakukan Perbuatan Melawan Hukum

CV Melakukan Perbuatan Melawan Hukum, Siapakah Yang Bertanggungjawab?

PENCERAHAN HUKUM

CV diatur pada Pasal 19 KUHD yang menyatakan bahwa:

“Perseroan secara melepas uang yang juga dinamakan perseroan komanditer, didirikan antara satu orang atau beberapa orang yang secara tanggung menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya pada pihak satu, dan satu orang atau lebih sebagai pelepas uang pada pihak lain.”

Badan Usaha Non Badan Hukum

CV Melakukan Perbuatan Melawan Hukum

Lebih lanjut, pada pasal 1 angka 1 Permenkumham 17/2018 juga mengatur tentang “CV” sebagai berikut:

“CV adalah persekutuan yang didirikan oleh satu atau lebih sekutu komanditer dengan satu atau lebih sekutu komplementer, untuk menjalankan usaha secara terus-menerus.”

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa “CV” merupakan suatu badan usaha non badan hukum sehingga yang bertanggungjawab adalah pengurusnya.

Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia879K/Sip/1974

Apabila CV melawan hukum, maka yang bertanggungjawab adalah “sekutu aktif” (pasal 21) secara tanggung renteng.

Jakarta, 12 Desember 2023

Sumber artikel : T.S.PLAWFIRM

CV Melakukan Perbuatan Melawan Hukum

Yanthie Maryanti; Desain website oleh Cahaya Hanjuang

Akibat Hukum Apabila Kreditur Menjual Barang Jaminan Hutang Milik Debitur Tanpa Izin
Akibat Hukum Apabila Kreditur Menjual Barang Jaminan Hutang Milik Debitur Tanpa Izin

Akibat Hukum Apabila Kreditur Menjual Barang Jaminan Hutang Milik Debitur Tanpa Izin

PENCERAHAN HUKUM

Berdasarkan pasal 1156 KUHPerdata apabila debitur lalai melakukan kewajibannya maka kreditur dapat menuntut melalui pengadilan agar barang jaminan dijual untuk pelunasan utang debitur beserta bunga dan biayanya.

Lalu bagaimana jika kreditur menjual barang jaminan milik debitur tanpa izin?

Akibat Hukum Apabila Kreditur Menjual Barang Jaminan Hutang Milik Debitur Tanpa Izin

Kreditur yang menjual barang jaminan tanpa izin bisa dikategorikan sebagai penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP.

Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 618K/PID/1984 tanggal 17 April 1985, yang menyatakan bahwa:

“penjualan barang-barang jaminan milik saksi oleh terdakwa tanpa izin saksi tersebut merupakan penggelapan”

Cara “penjualan” barang jaminan (gadai) debitur untuk pelunasan utang debitur yang dibenarkan hukum yaitu:

  1. Meganjukan permohonan eksekusi melalui pengadilan (Pasal 1156 KUHPerdata.
  2. Eksekusi melalui atas kekuasaan sendiri melalui kantor pelelangan umum.
  3. Eksekusi melalui penjualan di bawah tangan (menjual sendiri) asalkan sebelumnya, sudah disepakati atau mendapat izin debitur

Jakarta, 5 Desember 2023

Sumber artikel : T.S.PLAWFIRM

Akibat Hukum Apabila Kreditur Menjual Barang Jaminan Hutang Milik Debitur Tanpa Izin

Yanthie Maryanti; Desain website oleh Cahaya Hanjuang

Unsur-unsur Yang Harus Terpenuhi Agar Dapat Dikatakan Terbukti Melakukan Penipuan
Unsur-unsur Yang Harus Terpenuhi Agar Dapat Dikatakan Terbukti Melakukan Penipuan

Unsur-unsur Yang Harus Terpenuhi Agar Dapat Dikatakan Terbukti Melakukan Penipuan

PENCERAHAN HUKUM

Seseorang bisa dikatakan terbukti melakukan penipuan bila cara yang anda gunakan adalah dengan menggunakan serangkaian kata bohong, tipu muslihat, nama atau martabat palsu, sehingga orang lain tergerak menerahkan barang/uang.

Hal ini diperkuat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601 K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 yang menyatakan bahwa:

“unsur pokok delict penipuan (ex pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan barang.”

Masalah Perdata Yang Tidak Bisa Terpidana

Unsur-unsur Yang Harus Terpenuhi Agar Dapat Dikatakan Terbukti Melakukan Penipuan

Artinya, bila seseorang bisa membantah atau membuktikan bahwa dia tidak pernah menggunakan cara serangkaian kata bohong, tipu muslihat, nama atau martabat palsu untuk menggerakkan orang lain sehingga menyerahkan barang, maka dia tidak bisa dikenakan penipuan. Melainkan itu masalah perdata yang tidak bisa dipidana.

Lebih lanjut, dalam Yurisprudensi MA No. 1061 K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 juga menyatakan bahwa:

“dengan tidak terbuktinya unsur penting dalam delik penipuan tersebut.(tergerak/terbujuk) dalam perkara ini menurut Mahkamah Agung RI merupakan transaksi keperdataan yang tidak ada unsur pidananya..”

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa seseorang harus bisa membantah (membuktikan) bahwa dia tidak ada menggunakan cara serangkaian kata bohong, tipu muslihat, nama atau martabat palsu untuk menggerakan oranglain sehingga menyerahkan barang..Apabila hal tersebut dapat dibuktikan maka demikian dia tidak bisa dikenakan penipuan.

Jakarta, 1 Desember 2023

Sumber artikel : T.S.PLAWFIRM

Unsur-unsur Yang Harus Terpenuhi Agar Dapat Dikatakan Terbukti Melakukan Penipuan

Yanthie Maryanti; Desain website oleh Cahaya Hanjuang

Gugatan Lain-Lain Berupa Perlawanan
Gugatan Lain-Lain Berupa Perlawanan Pihak Ketiga Terhadap Daftar Boedel Pailit

Gugatan Lain-Lain Berupa Perlawanan Pihak Ketiga Terhadap Daftar Boedel Pailit

PENCERAHAN HUKUM

Pailit adalah sita umum terhadap harta debitor. Penyitaan umum dimaksud secara teknis dilakukan oleh Kurator dengan menerbitkan daftar harta pailit. Pasal 100 (1) ” Kurator harus membuat pencatatan harta paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima surat putusan pengangkatannya sebagai kurator”. (2)Pencatatan harta pailit dapat dilakukan dibawah tangan oleh kurator dengan persetujuan Hakim Pengawas”.

Berdasarkan Pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU maka Kepailitan berlaku terhadap harta kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala suatu yang diperoleh selama kepailitan. Ada kalanya penempatan suatu harta sebagai harta pailit bertentangan dengan kepentingan hukum yang merasa memiliki hak terhadap harta tersebut.

Perlawanan Pihak Ketiga yang dirugikan atas Daftar Boedel Pailit yang dibuat Kurator diatur pada Pasal 26 ayat (1) UU KPKPU yang berbunyi:

Gugatan Lain-Lain Berupa Perlawanan Pihak Ketiga Terhadap Daftar Boedel Pailit

Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap Kurator.

Lebih Lanjut, penjelasan gugatan lain-lain dapat dilihat pasa Pasal 3 ayat (1) UU K-PKPU yang berbunyi sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan “hal-hal lain”, adalah antara lain, actio pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara dimana debitor, kreditor, kurator, atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit termasuk gugatan Kurator terhadap Direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya.

Putusan Pengadilan yang mengabulkan Gugatan Lain-lain Pihak ketiga terhadap daftar boedel pailit:

  1. Putusan PN JAKARTA PUSAT Nomor 33/Pdt.Sus-Gugatan Lain-lain/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst.
    Tanggal 23 Juni 2020

2.Putusan Nomor 2./PDT.SUS/GUGATAN. LAIN-LAIN/2015/PN. MKS Jo Putusan Nomor: 725 K/PDT. SUS-PAILIT/2015

Jakarta, 27 November 2023

Sumber artikel : T.S.PLAWFIRM

Gugatan Lain-Lain Berupa Perlawanan Pihak Ketiga Terhadap Daftar Boedel Pailit

Yanthie Maryanti; Desain website oleh Cahaya Hanjuang